Apakah kalian tahu yang
namanya NARSIS? Yep, bahasa gaulnya adalah LEBAY, dan orang yang LEBAY
dinamakan ALAY (Anak LeBAY). Ayo disini siapa yang pernah foto diri sendiri sambil
bibirnya manyun, tangan berada di atas kepala, kaki diemut(?), atau dengan
pose-pose unik yang lain. Atau selain dalam hal gambar, kita bisa lihat contoh
pada orang yang membuat status seperti ini: “Lg1 d1 m4LL B4l1 G4leR14 n1H, en4k
bgtz M4kN P1zZ45” nah itu dia salah satunya. Admin blog ini benci sama yang
namanya narsis *JEGERRR!!!*. Mau tau kan narsis itu apa dalam ajaran
psikologi?! Yaudah kita simak aja
Konsep dan istilah
narsisisme berawal dari sebuah mitologi Yunani kuno tentang seorang pemuda
tampan dari Thespian bernama Narcissus yang ditakdirkan untuk hidup hingga ia
melihat dirinya dan jatuh hati pada citra diri yang dilihatnya.
Berdasarkan mitologi
tersebut berkembanglah konsep narcisism (dalam tulisan ini penulis menggunakan
kata: narsisisme) yang pada mulanya digunakan untuk menggambarkan orang yang
jatuh cinta dengan citra dirinya sendiri atau suatu bentuk hukuman bagi orang-orang
yang tidak dapat mencintai orang lain. Pada tahun 1899, Paul Nacke, seorang
psikiater berkebangsaan Jerman menggunakan istilah Narcismus yang merujuk pada
“attitude of a person who treats his own body in the same way as otherwise the
body of sexual object is treated. ”. Dengan perkataan lain , seseorang
mengalami kenikmatan seksual pada saat menatap, membelai dan mencintai
tubuhnya. Konsep narsisisme dari Nacke inilah yang kemudian menjadi dasar bagi
konsep narsisisme yang digunakan oleh Freud (1914). Dalam perkembangannya,
pemahaman narsisisme dalam teori Freud tidak hanya mengenai perilaku abnormal
dalam kehidupan seksual individu, tetapi lebih menekankan pada instink untuk
melindungi diri sendiri (self perseveration) yang ada pada setiap makhluk hidup.
Freud (1914) menggambarkan
konsep narsisisme dalam teorinya mengenai metapsikologi (metapsychological).
Konsep ini digunakan untuk menggambarkan tahapan perkembangan libido normal
antara tahap autoerotik (autoeroticism) dan object love. Narsisisme timbul
ketika libido (energi psikis) diinvestasikan untuk memenuhi kepuasan diri
sendiri sehingga ada ketidakmampuan untuk menginvestasikannya kepada orang lain
atau demi kepentingan orang lain. Perilaku yang muncul sebagai akibat dari
narsisisme ini terlihat sebagai rasa cinta diri (self love) yang berlebihan.
Selanjutnya, di bidang
klinis, Freud (dalam Raskin & Terry, 1988) menggunakan konsep narsisime
dalam kategori diagnostik untuk menggambarkan fenomena perilaku sebagai berikut
:
1. Sikap seseorang terhadap
dirinya sendiri, misalnya cinta terhadap diri sendiri (self love), mengagumi
diri sendiri (self admiration), membesar-besarkan diri sendiri/ perilaku
ekspansif (self aggrandizement)
2. Kerentanan self esteem
seseorang yang meliputi ketakutan akan kehilangan cinta dan ketakutan akan
kegagalan
3. Orientasi pertahanan diri
yang meliputi megalomania, idealisasi, penyangkalan (denial) dan proyeksi
4. Kebutuhan untuk dicintai,
memenuhi diri sendiri (self sufficiency) dan kebutuhan untuk menjadi sempurna
5. Dalam hubungan dengan
orang lain memperlihatkan sikap yang menunjukkan bahwa dirinya “lebih” dari
orang lain
Setiap manusia memiliki 2
bentuk objek seksual yaitu : diri mereka sendiri dan wanita yang merawatnya.
Selanjutnya, Freud membuat postulat mengenai narsisisme primer pada setiap
orang dimana di kemudian hari akan dimanifestasikan melalui dominasi pemilihan
objek (object-choice) cinta.
Freud (1914) membagi
individu ke dalam 2 kelompok yang berbeda berdasarkan pemilihan objek:
1.
Narcissistic Type
Pada individu-individu yang
mengalami gangguan pada perkembangan libidinal, seperti pada homoseksual,
dimana pemilihan objek cinta bukanlah ibunya melainkan diri mereka sendiri.
Mereka secara jelas melihat diri mereka sebagai objek cinta.
Berdasarkan tipe narsisistik
ini, maka seseorang mungkin akan memilih objek cinta :
1. diri mereka sendiri
2. diri mereka dahulu
3. diri yang diinginkan
4. seseorang yang dulu
pernah menjadi bagian dari dirinya
2.
Anaclitic Type
Pengalaman auto-erotic
sexual gratification yang pertama terjadi ketika individu melakukan self
preservation. Yang muncul di awal adalah sexual instinct yang kemudian
dilanjutkan oleh ego-instinct; selanjutnya mereka terbebas dari insting-insting
tersebut dan mengubah objek seksual mereka ke dalam aktivitas feeding,
perhatian dan perlindungan yang diberikan oleh ibunya.
Berdasarkan tipe anaclitik,
maka seseorang mungkin akan memilih objek cinta :
1. wanita yang mengasuh/
merawatnya
2. laki-laki yang memberikan
proteksi
Dinamika
Narsisisme
Freud berpendapat bahwa
seorang bayi merasa dirinya sempurna dan sangat berpengaruh. Ia memiliki
pikiran yang terbatas dan tidak terbatas (omnipotence of thought). Semua energi
libido digunakan untuk memuaskan kebutuhan psikologisnya dan untuk merawat
keberadaannya. Investasi dasar dari energi ini diberi nama “Ego Libido” atau
narsistik. Insting-insting autoerotis adalah instink yang sifatnya primodial
dan melalui insting inilah narsisisme mulai muncul pada diri individu.
Selanjutnya, Freud membagi narsisisme menjadi 2, yaitu ;
1.
Narsisisme primer
Pada narsisisme primer,
energi libido diarahkan pada diri sendiri untuk memuaskan diri sendiri. Pada
saat tertentu, sesuai dengan perkembangannya, si bayi tidak lagi menemukan
kepuasan diri yang sempurna melalui pikirannya ini. Ia kemudian mengalami
interupsi dalam pemuasan narsisistiknya (narcissisistic self-absorption). Pada
akhirnya ia akan mengalihkan energi libidonya pada orang lain untuk mencari
kepuasan itu walaupun baginya kepuasan ini tidak sesempurna yang pertama.
2.
Narsisisme sekunder
Sedangkan pada narsisisme
sekunder, investasi energi libido tersebut dialihkan kepada orang lain tapi
tetap dilakukan dengan tujuan untuk dapat memuaskan diri sendiri.
Freud (1911 dalam Siegel,
1996) mencoba untuk menerangkan perkembangan narsisisme ini melalui studi
mengenai psikosis. Freud mencoba menganalisis buku harian milik Schreber,
seorang hakim yang menulis buku harian pada saat ia mengalami episode psikosis.
Analisis Freud menggunakan buku harian tersebut yang menggambarkan delusi
paranoid yang dialami Schreber untuk mempelajari proses yang terjadi dalam
psikosis. Freud meyakini bahwa patologi mendasar dalam psikosis tersebut adalah
terjadinya regresi pada tahap narsistik dimana pada tahap itu tidak ada
kelekatan (attachment) terhadap objek. Freud membangun perkembangan kontinum
dari object attachment yang diawali dengan tahap narsistik (objectless) dan
bergerak menuju tahap objek cinta, suatu tahapan dimana objek tersebut dicintai
dan dihayati sebagai sesuatu yang terpisah.
Perkembangan
Konsep Narsisisme
Konsep narsisisme yang
dikembangkan oleh Freud sangat mempengaruhi pemikiran psikoanalisa modern.
Salah satu pemahaman narsisisme dalam bidang klinis dari perspektif
psikoanalisa modern dapat ditemukan pada teori Kohut. Kohut (dalam Siegel,
1996) melihat narsisime sebagai suatu tahapan perkembangan diri. Sementara itu,
manifestasi dari narsisisme yang tidak sehat adalah depresi dan kehampaan
perasaan sebagaimana ia temui pada beberapa pasiennya. Keluhan mereka berkisar pada
kemungkinan hilangnya makna dan gairah hidup mereka sehingga mereka menjalani
hidup dengan berat hati.
Menurut Kohut, kebutuhan
utama yang diperlukan dalam perkembangan narsisisme yang sehat adalah
1. kebutuhan untuk
dicerminkan yang dimanifestasikan melalui kebutuhan anak-anak untuk mendapatkan
pengakuan, persetujuan, dan kekaguman terhadap ekspresi dan perilaku mereka.
Orang yang paling penting untuk pencerminan ini adalah ibu.
2. kebutuhan untuk
mengidealisasikan yang dimanifestasikan melalui kekaguman dan identifikasi pada
orang dewasa yang lebih berkuasa. Orang yang paling diidealkan oleh anak
biasanya adalah ayahnya.
Berkaitan dengan kontinum
perkembangan narsistik dari Freud, maka Kohut berusaha untuk menambahkan
pemahaman narsisisme berdasarkan sudut pandangnya yang sedikit berbeda dengan
konsep obyek cinta pada Freud sebagai titik akhir dari kematangan narsisisme.
Bagi freud, penolakan dari narsisisme untuk kepentingan obyek cinta adalah
tujuan dari treatment Freud, sementara ide Kohut mengenai narsisisme membawa
pada implikasi terapetik.
Kohut menyatakan bahwa
pengalaman narsistik diawali pada masa dimana bayi mulai merasakan kebahagiaan
atau disebut juga infant’s blissful state. Bayi berusaha untuk mempertahankan
tahap ini dengan mengembangkan 2 bentuk narsistik yang sempurna, dimana
masing-masing sistem berkembang dari narsisisme primer yang terpecah, yang
selanjutnya sering dikenal sebagai bipolar self ;
1.
Narcissistic Self
Merupakan satu sistem yang
membuat suatu ‘perfect self’, suatu bentuk perkembangan dimana segala sesuatu
terlihat baik, menyenangkan dan sempurna sebagai bagian dari dalam dirinya.
Sementara itu, segala sesuatu yang buruk adalah bagian dari luar dirinya.
Narsisisme tidak diinvestasikan kepada orang lain melainkan diinvestasikan
untuk diri sendiri dengan memberikan penilaian yang terlalu tinggi terhadap
diri. Mereka berharap mendapatkan pandangan yang penuh kekaguman dari orang
lain. Narcissistic self sangat berkaitan erat dengan dorongan-dorongan dan
tekanan yang pada akhirnya memberikan kontribusi pada munculnya ambisi.
2.
Idealized Parent Imago
Sistem ini berusaha untuk
mengembalikan blissful state yang hilang dengan cara memberikan kekuasaan dan
kesempurnaan yang absolut kepada orang lain. Kelekatan dengan figur ‘perfect’
mengembalikan perasaan yang utuh dan menyenangkan. Idealisasi dari idealized
parent imago dihasilkan melalui proyeksi dari kebahagiaan bayi; kekuasaan dan
kesempurnaan, terhadap orang tuanya. Idealized parent imago dipandang dengan
penuh kekaguman sebagai objek yang selanjutnya memberikan kontribusi pada
munculnya figur ideal.
Kontekstualisasi
Konsep Narsisisme
Dalam era modern saat ini,
narsisisme muncul sebagai cara untuk mengatasi tekanan dan kecemasan yang
dirasakan. Lasch (1979) menggunakan konsep narsisisme dalam lingkup masyarakat
yang luas. Suatu bentuk masyarakat baru membutuhkan bentuk kepribadian yang
baru dan cara sosialisasi yang baru. Pada saat masyarakat memilih narsisisme,
selanjutnya akan berkembang menjadi kondisi sosial yang dapat meningkatkan
trait narsistik yang ada dengan derajat yang berbeda-beda pada setiap orang.
Salah satu kondisi yang ada dalam masyarakat modern sekarang ini hal-hal yang
memiliki andil dalam membentuk masyarakat yang narsistik yaitu :
1. Perubahan dalam nilai
kesuksesan seseorang. Pada masyarakat modern, kesuksesan seseorang dinilai dari
kemampuannya untuk dapat menampilkan citra sukses, bukan pada kemampuan
seseorang untuk mengatasi masalah ataupun tindakan yang telah dilakukannya.
Kesuksesan dinilai dari atribut yang dimiliki seseorang, misalnya kekayaan,
kekuasaan, dan ketenaran yang dimiliki (Lasch, 1979)
2. Lowen (1985) membahas
narsisisme pada tingkat individual maupun tingkat budaya. Pada tingkat budaya,
narsisme dapat dilihat sebagai hilang atau berkurangnya nilai-nilai kemanusiaan
(loss of human values) yang terlihat dari berkurangnya perhatian pada
lingkungan, pada kualitas kehidupan individual, dan nilai-nilai persahabatan
yang ada di antara individu.
Berangkat dari pemikiran di
atas, maka penelitian mengenai narsisisme di Indonesia memiliki peluang yang
sangat besar untuk dikembangkan dengan melihat keanekaragaman budaya Indonesia
dan kecenderungan terjadinya perubahan nilai yang terjadi di masyarakat modern.
Media massa dan pariwara, tampaknya ikut memberikan kontribusi dalam perubahan
gaya hidup seseorang. Upaya pengembangan penelitian di Indonesia dapat
dilakukan untuk memahami, misalnya:
1. Fenomena narsisisme dalam
budaya tertentu.
2. Fenomena narsisisme dalam
ranah politik, pemerintahan dan pelanggaran/penegakan hukum.
3. Peran masyarakat dan
media massa dalam memberikan pengaruh pada berkembangnya kepribadian
narsisistik.
4. Tokoh dan penokohan:
membentuk dan memelihara kepribadian narsistik.
5. Keterkaitan antara gaya
hidup masyarakat modern dengan berkembangnya kepribadian narsistik.
6. Peran pola asuh dalam
memberikan pengaruh pada terbentuknya kepribadian narsistik.
Daftar Pustaka
Freud, Sigmund. 1914. On
Narcissism : An Introduction. New York : Basic Book, Publishers
Lasch, C. 1979. The Culture
of Narcissism. American Life in an Age of Diminishing Expectation. New York :
W.W. Norton & Company
Raskin, R., Howard Terry.
1988. A principal-components analysis of the Narcissistic Personality Inventory
and Further Evidence of Its Construct Validity. Journal of Personality and
Social Psychology, 54, 890 – 902
Siegel, Alan M. 1996. Heinz
Kohut and The Psychology of The Self. London : Clays.Ltd
Sumber:
www.rumahbelajarpsikologi.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar